Jumat, 17 Desember 2010

Gayatri Mantram

om bhur bwah swah tat sawitur warenyam bhargo dewasya dhimahi dyo yonah pracodayat

om bhur bwah swah tat sawitur warenyam bhargo dewasya dhimahi dyo yonah pracodayat

om bhur bwah swah tat sawitur warenyam bhargo dewasya dhimahi dyo yonah pracodayat

Ongkara

Ongkara merupakan salah satu simbol paling sakral dalam budaya Bali, melambangkan alam semesta dan kehidupan. Ketika Au Kara bertemu Ulu Candra, romanisasi bukan "Aung", tetapi "Om".
Dan tulisan itu memiliki nama khusus Ongkara, Kata ini digunakan hampir di mana-mana dalam teks, karena merupakan simbol dari Tuhan sendiri.

Kalimat yang paling terkenal menggunakan OM adalah salam: Om Swastiastu (Semoga Tuhan memberkati Anda), Om Santi Santi Santi, Om (Semoga damai di mana-mana)

Senin, 22 November 2010

Rangda

Rangda adalah ratu dari para leak dalam cerita Bali. Makhluk yang menyeramkan ini diceritakan sering menculik dan memakan bayi/orok serta memimpin pasukan menyebarkan wabah penyakit kependuduk dan melawan Barong yang merupakan simbul kekuatan baik .
kata Rangda yang dikenal di Bali berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa yang berarti Janda. cerita rakyat yang di dalamnya terdapat  Rangda yaitu Calonarang. 

bersambung..

Minggu, 21 November 2010

Penjor

Penjor adalah suatu hiasan pada upacara yang juga mengandung arti sebagai sebuah umbul-umbul dan simbul-simbul suci.
Penjor juga merupakan persembahan terhadap Bethara di Gunung Agung yaitu Bhatara Giri Putri.

Penjor ada 2 jenis:
1. Penjor Upacara
2. Penjor hiasan

Penjor upacara yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya.
membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.

Sedangkan penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya pesta, lomba desa, pesta seni dll. Penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll.

Pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan.

Barong

Kata barong berarti tiruan binatang buas yang di dalamnya ada orang yang menggerakan atau untuk dipertunjukan. Kata Barong berasal dari bahasa Sanskerta yaitu b (h) arwang yang dalam bahasa Indonesia sejajar dengan Beruang. Kata Beruang sebagai binatang disamakan untuk wujud-wujud binatang lainnya seperti Babi, Macan, Gajah, Sapi atau binatang lainnya.

Selain itu kata Barong berasal dari urat kata ba-ru-ang, sehingga berasimilasi menjadi Barong. Demikian juga karena penarinya terdiri dari dua orang yaitu rua rong yang berarti dua ruang, kecuali Barong Blas-blasan atau Barong Landung, barung berarti bersama-sama atau dua karena menarikannya harus berdua bersama-sama, dan bareng juga bermakna bersama-sama. Barong adalah karakter dalam mitologi Bali. Ia adalah raja dari roh-roh serta melambangkan kebaikan.
Ia merupakan musuh Rangda dalam mitologi Bali. Banas Pati Raja adalah roh yang mendampingi seorang anak dalam hidupnya. Banas Pati Raja dipercayai sebagai roh yang menggerakkan Barong. Sebagai roh pelindung, Barong sering ditampilkan sebagai seekor singa, selain itu ada pula beberapa jenis barong yang ada di Bali diantaranya : Barong Bangkal, Barong Ket, Barong Gajah, Barong Kadingkling, Barong Asu, Barong Macan, Barong Landung, Barong Gagombrangan, Barong Lembu, Barong Kambing, dan Barong Sai.

Minggu, 14 November 2010

Keberadaan Tuhan Dan Manusia Dalam Hindu

Keberadan Tuhan adalah gaib dan tindakan mencari Tuhan inilah yang menjadi hakikat hidup manusia. Namun para penganutnya mempercayai bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Dalam ajaran agama Hindu hal tersebut termasuk dalam Panca Çradha yang berarti lima macam kepercayaan umat Hindu, yang mana percaya akan adanya Ida Sang Hyang Widhi merupakan bagian yang patut dipercaya pertama kali (Widhi Sradha)

Ada tiga hal yang menyebabkan kepercayaan umat Hindu terhadap adanya Tuhan, yaitu:


Atas dasar petuah dari para tokoh agama atau para Rsi. Petuah tersebut disampaikan melalui ajaran Agama yang terdapat dalam Kitab Suci Weda yang merupakan wahyu yang diturunkan oleh Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Berdasarkan penyimpulan dari sebuah penilaian yang sesuai dengan logika. Contohnya: ada barang, karena dibuat oleh pabrik. Ada alam semesta, siapakah yang membuat? Jawabannya adalah Tuhan.

Berdasarkan pengalaman oleh para Resi/orang yang telah suci. Karena diyakini, Tuhan menurunkan ajarannya hanya kepada orang yang telah suci lahir dan bathin.


Keberadaan Tuhan dalam agama Hindu diyakini hanya satu, karena itu dinamakan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Tuhan itu memiliki berbagai macam sebutan hal ini disebabkan karena keterbatasan manusia untuk memikirkan Tuhan, maka untuk mempermudah imajinasinya dalam membayangkan kebesaran Tuhan, umat Hindu yang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama. Hal ini telah tersurat dalam sloka: 

        “Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti”

Terjemahannya:   
Hanya satu (Ekam) Sang Hyang Widhi (Sat = hakekat) hanya orang bijaksana (Wiprah) menyebutkan (Wadanti) dengan banyak nama (Bahuda).

Banyak nama itu diberikan sesuai dengan manifestasinya. Contohnya yaitu perwujudan Tuhan sebagai Tri Murti yang mana Tuhan dipercaya memiliki tiga wujud kekuatan yang amat besar. 
Tiga wujud kekuatan yang dimaksud adalah:

   *Dewa Brahma 
     Tuhan sebagai Maha Pencipta,

   *Dewa Wisnu 
     Tuhan sebagai Maha Pemelihara 

   *Dewa Siwa
     Tuhan sebagai Maha Pemrelina/Pelebur.



Sehingga dapat dikatakan bahwa memberikan banyak sebutan untuk Ida Sang Hyang Widhi, bukanlah sesuatu yang dilarang bagi umat Hindu karena hal tersebut diperbolehkan.

Manusia merupakan makhluk yang berakal budhi. Pada hakekatnya manusia merupakan penjelmaan dari Anu, yang dalam bahasa Sansekerta berarti atom. Maksudnya adalah percikan kecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga manusia pun sering diistilahkan dengan sebutan atmaja, anuja atau janma, oleh karena hakekatnya adalah atma atau anu yang lahir atau menjelma dari atma/anu yang membadan.

Selain manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan pun memiliki percikan kecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun manusia memiliki beberapa keistimewaan daripada ciptaan Tuhan yang lain yaitu adanya Tri Pramana yang terdiri atas sabda, bayu dan idep

Diri manusia juga disebut sebagai bhuana alit karena asal mula manusia memiliki hakekat yang sama dengan asal mula alam semesta (bhuana agung) yaitu purusa dan prakrti. Unsur purusa dalam diri manusia adalah jiwatma, sedangkan unsur prakrti adalah badan kasar atau Sthula Sarira. Tubuh manusia terdiri dari tiga lapisan badan (Tri Sarira) yaitu :
*Antakarana Sarira (badan penyebab) atau atman 
yaitu tentang hidup lahir bathin bagi manusia dan makhluk lainnya.
*Suksma Sarira/Lingga Sarira (bahan halus) atau citta, 
yaitu alam pikiran atau akal perasaan yang terdiri dari budi, manas, ahamkara dan indra termasuk intuisi.
*Stula Sarira (badan kasar) 
yaitu badan wadag seperti: darah, daging, tulang, kulit, sumsum, dsb (yang berasal dari unsur panca tan matra dan panca maha bhuta)

Manusia hidup dalam lingkungan tertentu dan memperoleh bahan keperluannya untuk hidup dari lingkungannya, sehingga manusia pun sangat tergantung pada lingkungan. Oleh karena itu situasi dan kondisi lingkungan harus diperhatikan, dengan lingkungan yang tertata dengan rapi dan bersih akan menciptakan keindahan. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tentram dalam diri manusia.

Makna Siwaratri Dan Penafsiran Cerita Lubdaka

Siwa Ratri (Siwa Latri) diartikan sebagai  “malam siwa”, karena pada hari tersebut Tuhan yang bermanifestasi sebagai Sang Hyang Siwa beryoga.
Hari suci ini jatuh pada purwaning tilem sasih kepitu, yaitu untuk memohon pengampunan dosa ke hadapan Hyang Widhi Wasa. Hari raya Siwa Ratri juga disebut malam peleburan dosa.

Brata Siwarâtri terdiri dari:
  1. Utama, melaksanakan:
     * Monabrata (Berdiam diri dan tidak berbicara).
     * Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
     * Jagra (berjaga, tidak tidur).
  2. Madhya, melaksanakan:
      * Upawasa.
      * Jagra.
  3.Nista, hanya melaksanakan:
      * Jagra.

Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka yang dikarang oleh Mpu Tanakung seorang mpu besar di zamannya. 
Lubdaka dilukiskan sebagai pemburu yang tentu saja gemar membunuh binatang-binatang buruan di hutan. Pada suatu hari, ia tidak dapat binatang buruan, kemudian kemalaman dan dia naik pohon bila. Karena takut terjatuh yang akan menjadi santapan binatang buas, ia memetik daun bila dan dijatuhkannya ke dalam kolam. Maksudnya supaya dia tudak mengantuk dan tertidur. Ternyata yang dimaksudkan dengan kolam itu adalah kolam dan di situ ada stana Hyang Siwa. Lubdaka akhirnya mendapatkan anugerah, kelak ketika ia mati, otomatis ia akan masuk sorga. Dosa-dosanya sudah terlebur oleh bergadang semalam suntuk itu.

Jadi kisah Lubdaka bisa kita tafsirkan sebagai barikut:
Lubdaka seorang pemburu bisa kita tafsirkan sebagai Lubdaka yang tidak pernah puas dengan keadaan dirinya. Ia selalu memburu dan mencari-cari ilmu pengetahuan, memburu kebajikan, memburu sifat-sifat baik. Untuk itulah ia tidak tega-tega melakukan pembunuhan, yang dibunuh adalah nafsu angkara murka, sad ripu, dan segala yang bertentangan dengan ajaran kebajikan.

Ketika ia merasa telah membunuh semua "sifat-sifat hewan dalam dirinya" maka ia melakukan suatu perenungan. Ia tidak berbicara, atau berbicara dengan perkataan yang terjaga. Ia melakukan upawasa atau puasa. Ia melakukan samadi pada malam yang paling gelap dalam putaran waktu selama setahun, untuk semalaman.
Daun bila yang dipetik dan dijatuhkankannya, adalah butir-butir genitri untuk melakukan pemujaan dan pada butir genitri yang ke 108 itulah samadi Lubdaka mendapatkan hasil. Yaitu Ketenangan, kebahagiaan hidup tanpa lagi terikat pada materi. Ia sudah mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Dan pada saat ia meninggal dunia ia telah siap secara spiritual. Lubdaka pun mencapai ketenangan di alam sana, di mana kita tidak bisa melukiskannya tempat itu, dan untuk memudahkannya kita sebut saja sorga.
 
Dengan demikian maka merayakan Hari Siwaratri adalah melakukan perenungan pada malam Siwa, malam tergelap dalam putaran waktu setahun. Perenungan yang disertai dengan pengendalian diri, berbicara yang baik, tidak makan minum, dan melakukan semedi dan japa berulang-ulang. Kita tidak tahu, kapan kita akan meninggal dunia. Walau memang cepat tapi kita tak ada kekuatan untuk menundanya, kita telah pernah melakukan sebuah perenungan di malam Siwa (Siwaratri). Jika kita sebagai manusia diberi umur panjang, kita masih akan bisa melewati malam Siwa yang akan datang. Betapa bahagianya jika kita bisa melakukan perenungan itu setiap tahun.






Artikel terkait:
MANTRAM PANCA SEMBAH
Makna dan Rangkaian Hari Raya Galungan
Makna Siwaratri Dan Penafsiran Cerita Lubdaka
Makna Hari Raya Kuningan
Keberadaan Tuhan Dan Manusia Dalam Hindu


Jumat, 12 November 2010

Makna Hari Raya Kuningan

Kuningan adalah rangkaian dari upacara Galungan, yaitu 10 hari setelah Galungan, yang jatuhnya pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan.

Kata kuningan sendiri memiliki makna "kauningan" yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya.

Pada hari Raya Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda alam.
Sedangkan endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran.

Dalam Hari Raya ini diharapkan manusia mampu menyesuaikan diri dengan alam, dan taat dengan hukum alam dan diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu.

Pada hari itu juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia  menerima anugrah dari Hyang Widhi.

Intinya dalam perayaan ini dimaksudkan agar umat selalu ingat kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widi Wasa dan mensyukuri karuniaNya, Selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial, dan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya.

Selasa, 02 November 2010

Makna dan Rangkaian Hari Raya Galungan

Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda kata Galungan berarti berperang.
Kesimpulan dari Parisada Hindu Dharma yaitu bahwa Hari Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi.
Bukan berarti Gumi (Jagad) ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah menciptakan dunia dan segala isinya. 

Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.

Menurut lontar Purana Bali Dwipa disebutkan :
"Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya".
Yang artinya:
"Perayaan hari raya suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka, keadaan pulau Bali bagaikan lndra Loka".


Mulai tahun saka inilah hari raya Galungan terus dilaksanakan, kemudian tiba-tiba Galungan berhenti dirayakan entah dasar apa pertimbangannya, itu terjadi pada tahun 1103 saka saat Raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan sampai dengan pemerintahan Raja Sri Dhanadi tahun 1126 saka Galungan tidak dirayakan. Dan akhirnya Galungan baru dirayakan kembali pada saat Raja Sri Jaya Kasunu memerintah, merasa heran kenapa raja dan para pejabat yang memerintah sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui sebabnya beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik dari Dewi Durgha menjelaskan pada raja, leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak merayakan Galungan, oleh karena itu Dewi Durgha meminta kembali agar Galungan dirayakan kembali sesuai dengan tradisi yang berlaku dan memasang penjor dihari penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak redite pahing dunggulan (hari minggu sebelim Galungan) kita didatangi oleh  Bhuta kala, yakni Kala-tiganing Galungan (Sang Kala Tiga Wisesa). Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma  malawan adharma.

Mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. 

makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep

Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.

Dalam kitab Sundari-Gama  mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan, yaitu hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.
Menurut Pustaka Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. 

Serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan.
Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa (Wrhaspati Wage Wuku Sungsang) dan Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia.

Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite (minggu) Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada soma (Senin) Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan.

Pada Anggara (selasa) Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.

Setelah hari raya Galungan yaitu Wraspati (Kamis) Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

berikutnya adalah Saniscara (Sabtu) Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka
dan “matirta gocara”. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.



Sumber:
Parisada Hindu Dharma Indonesia
Babad Bali




Artikel terkait:
Makna Hari Raya Kuningan
Makna dan Rangkaian Hari Raya Galungan


Keberadaan Tuhan Dan Manusia Dalam Hindu

Senin, 25 Oktober 2010

MANTRAM PANCA SEMBAH

Dengan tangan kosong

OM ATMA TATTWATMA SUDDHA MAM SWAHA

ARTINYA : Ya tuhan atma atau jiwa dan kebenaran bersihkanlah hamba
   

Sembayang dengan bunga ditunjukkan kepada hyang widhi dalam wujudnya sebagai surya atau siwa aditya

OM ADITYASYA PARAM JYOTI
RAKTA TEJO NAMO STUTE   
SWETA PANKAJO MADHYASTHA
BHASKARAYA NAMO STUTE

ARTINYA: Ya tuhan,sinar hyang surya yang maha hebat engkau bersinar merah,hamba memuja engkau hyang surya yang berstana ditengah-tengah teratai putih hamba memuja engkau yang menciptakan sinar matahari berkialauan.


Sembayang dengan kwangen bila tidak ada boleh menggunakan bunga.

OM NAMA DEWA ADHISTHANAYA
SARWA WYAPI WAI SIWAYA
PADMASANA EKA PRATISTHAYA
ARDHANASREWARYAI NAMO NAMAH

ARTINYA : Ya tuhan kepada dewata yang bersembahyam  pada tempat yang luhur,kepada hyang siwa yang berada dimana-mankepada dewata yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai disuatu tempa,kepada adhanaresvari hamba memuja.


Sembahyang dengan bunga atau kwangen untuk memohon waranugraha

OM ANUGRAHA MANAHARAM                DEWA DEWI MAHASIDDHI
DEWA DATTA NUGRAHAKA                YAJNANYA NIRMALATMAKA
ARCANAM SARWA PUJANAM                LAKSMI SIDDHISCA DIRGHAYUH
NAMAH SARWA NUGRAHAKA                NIRWIGHNA SUKHA WRDDISCA

ARTINYA : Ya tuhan engkau yang menarik hati pemberi anugrah pemberi dewata,pujaan segala hamba memujamu sebagai pemberi segala  anugrah,pujaan ,hamba memujamu sebagai pemberi segala anugrah kemahsiddhian pada dewa dan dewi berwujud yadnya suci kebahagian kesempurnaan,panjang umur bebas dari rintangan kegembiraan dan kemajuan rohani dan jasmani


Sembahyang dengan cakupan tangan kosong,persis seperti yang pertama Cuma sekarang ini sebagai penutup.

OM DEWA SUKSAMA PARAMA CINTYAYA NAMAH SWAHA
OM SANTIH  SANTIH  SANTIH OM

ARTINYA: Ya tuhan hamba memuja engkau dewata yang tidak terpikirkan maha tinggi dan maha gaib.ya tuhan ,anugrahkan kepada hamba kedamaia,damai,damai,ya tuhan 

Kamis, 14 Oktober 2010

Pengertian & Makna Upacara Mepandes

Ida Pedanda Gd Manuaba wktu masih wulaka
Upacara mapandes disebut juga matatah, masangih yaitu memotong atau meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang dipahat 3 kali secara simbolik, diasah dan diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut.



Bila dikaji lebih jauh, upacara Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacara Sarira Samskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Upacara ini dikelompokan dalam upacara Manusa Yajna.

1. Adapaun makna yang dikandung dalam upaca mapandes ini adalah: Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgita.
2. Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajna, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
3. Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Atma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Pitraloka).

Berdasarkan pengertian dan makna upacara Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacara ini merupakan upacara Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya. Dalam lontar Puja Kalapati dinyatakan, " seseorang yang tidak melakukan upacara Mapandes, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci," demikian pula dalam Atma Prasangsa dinyatakan "roh mereka yang tidak melaksanakan upacara potong gigi mendapat hukuman dari dewa Yama (Yamadhipati) berupa tugas untuk menggit pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan kitab Kalatattwa; Bhatara Kala tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Siva, yakni Bhatara Gana, Ganesa atau Ganapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.



Upacara ini merupakan sebagai wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitisastra.

Adapun tujuan dari upacara Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil baliq menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam lontar Puja kalapati dan juga Atmaprasangsa, maka upacara Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:

1. Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhuta, Kala, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas.
2. Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Sraddha dan Bhakti kepada-Nya.
3. Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi.
4. Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajaa dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.

Kini timbul pertanyaan, kapankah saat yang tepat untuk melaksanakan upacara Mapandes? Bila kita memperhatikan berbagai sumber yang tertulis di dalam lontar, seperti lontar Dharma Kahuripan dan lain-lain, sebenarnya upacara ini dilakukan saat mulai pubertasnya seorang anak, dan bagi seorang gadis, saat setelah pertama kali mengalami menstruasi. Upacara ini dapat digabungkan dengan Rajasewala atau Rajasingha bagi seorang gadis atau seorang perjaka.



Bagi seseorang yang belum sempat mengikuti upacara Mapandes, dan maut telah menjemput, berbagai tanggapan muncul, yakni apakah perlu upacara bagi seseorang yang telah meninggal. Menurut Lontar Sastra Proktah mengatakan bahwa "Orang yang sudah meninggal tidak perlu di upacarakan potong gigi, (Tan wenang Ngeludin Wangke)". Terhadap keadaan ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu memberikan jalan ke luar, sebagai berikut:

1. Mapandes adalah upacara Manusa Yajna (Sarira Samsakara) yang patut dilaksanakan pada saat seseorang masih hidup (sangat baik ketika remaja, belum berumah tangga). Mapandes bagi orang yang telah meninggal sesungguhnya tidak perlu dilakukan.
2. Bila orang tua yang bersangkutan merasa masih punya hutang berupa kewajiban, dapat menempuhnya dengan upacara simbolis, dengan kikir (panggur) dari bunga teratai, dilengkapi dengan andel-andel serta padi, seakan-akan yang bersangutan bermimpi diupacarakan Mapandes.
3. Dengan demikian orang tua terbebas dari hutang kewajiban kepada anaknya, sehingga roh anaknya diharapkan dapat bersatu dengan roh leluhur yang telah disucikan.

Tatacara Pelaksanaan

1. Upacara di tempat (bale) Mapandes. Setelah selesai upacara di pamarajan, maka remaja yang mengikuti upacara Mapandes kembali ke gedong untuk selanjutnya menuju tempat upacara Mapandes dilaksanakan, adapun rangkaian dan makna upacara yang dikandung adalah sebagai berikut:

a) Menyembah dewa Surya untuk mempermaklumkan sekaligus memohon persaksian-Nya.

b) Menyembah Bhatara Smara dan Bhatarì Ratih, agar senantiasa dimbimbing ke jalan yang benar, sekaligus memohon benih yang terkandung dalam diri masing-masing (sukla-svanita), jangan sampai ternoda hingga kehidupan berumah tangga melalui perkawinan di kemudian hari.

c) Memohon Tirtha kepada Bhatara Smara dan Bhatarì Ratih, sebagai simbol telah mendapat restu dan perkenan-Nya.

d) Ngayab Banten Pangawak Bale Gading, untuk memohon kekuatan lahir dan batin, karena masa pubertas penuh dengan tantantangan hidup termasuk dorongan nafsu yang jahat.

e) Mepandes, yakni dilaksanakannya upacara panggur oleh sangging, guna menyucikan diri pribadi dari gangguan Sadripu.

f) Menginjak banten paningkeb, mengandung makna selesainya upacāra Mapendes, dengan Sadripu dan Catur Sanak telah memperoleh penyucian.



2. Menikmati Sirih-lekesan, simbolis kehidupan baru telah dimulai dengan bermacam kenikmatan hidup dan tantangan, dan Sang Hyang Śiva beserta Panca Dewata senantiasa akan melindunginya.



3. Kembali ke tempat Ngekeb, mengandung makna kembali melakukan tapa brata, menyucian diri, lahir dan batin.



4. Mejaya-jaya, yakni mengikuti upacara yang dipimpin oleh Pandita (Sulinggih) berupa pemercikkan Tìrtha, yang mengandung makna yang bersangkutan telah dan senantiasa akan memperoleh kemenangan dalam menghadapi godaan dan dorongan untuk berbuat jahat.



5. Mapinton. Upacara ini mengandung makna mempermaklumkan kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan upacara Mapandes dan senantiasa memohon bimbingan dan perlindungan-Nya.



Berdasarkan rangkaian upacara Mapandes yang dilaksanakan, maka makna yang dikandung dari rangkaian upacara tersebut adalah sebagai berikut:

1. Magumi Padangan. Upacara ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui permohonan waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan bersthana di dapur.
2. Ngekeb. Upacara ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu, yakni enam musuh pada diri pribadi manusia berupa loba, emosi, nafsu seks dan sebagainya.
3. Mabhyakala. Upacara ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhuta Kala, yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan). Upacara ini juga disebut Mabhyakawon yang artinya melenyap kotoran batin dan di India disebut Prayascitta, menyucikan diri pribadi.
4. Persaksian dan persembahyangan ke Pamarajan. Upacara ini mengandung makna untuk:

a) Memohon wara nugraha Hyang Guru dan leluhur (kawitan) bahwa pada hari itu keluarga yang bersangkutan menyelenggarakan upacara potong gigi.

b) Menyembah ibu-bapa, sebagai perwujudan dan kelanjutan tradisi Veda, seorang anak wajib bersujud kepada orang tuanya, karena orang tua juga merupakan perwujudan dewata (matri devobhava, pitridevobhava), juga sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Uma dan Siva, sebagai ibu-bapa yang tertinggi dan yang sejati.

c) Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat keraksasaan dinetralkan dan berkembangnya sifat-sifat kedewataan.

d) Memohon Tirtha, sebagai simbolis memohon kesejahtraan, kabahagiaan dan keabadiaan.

e) Ngrajah gigi, menulis gigi dengan aksara suci simbolis sesungguhnya Hyang Widhilah yang membimbing kehidupan ini melalui ajaran suci yang diturunkan-Nya, sehingga prilaku umat manusia menjadi suci, lahir dan batin.

f) Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang Widhi Siva) yang telah menganugrahkan kelancaran upacara ini seperti simbolik Sang Hyang Siva memotong taring putra-Nya, yakni Bhatara Kala.





Demikianlah sepintas makna yang terkandung dari rangkaian upacara Mapandes, yang tidak lain guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan Sraddha dan Bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.







Sumber Bacaan: Bhagavadgita, Semaradahana, Lontar Puja Kalapati, Lontar Dharma Kahuripan, Lontar Atma Prasangsa, Lontar Kala Tattwa, Lontar Sastra Proktah

Sabtu, 02 Oktober 2010

Kisah situpai kecil

Sekali orang terjebak dalam proses seumur hidup menjadi karyawan, maka mereka menjadi seperti seekor tupai kecil yang berlari lari dalam lingkaran sangkar bulat mereka yang kecil. Kaki kaki kecil mereka yang berbulu berlari kencang mati matian, sangkarnya pun berputar kencang sehingga si tupai kecil kelelahan dan tertidur. Tetapi ketika esok tiba, mereka masih tetap berada dalam sangkar yang sama dan terus berpacu dalam sangkarnya lagi. Pekerjaan Yang Hebat. Apakah kehidupan anda saat ini seperti seekor tupai kecil dan sangkar bulatnya? Apakah anda ingin seperti itu selamanya, atau anda ingin hidup lebih baik dan keluar dari Sangkar Rutinitas Kehidupan?

Teman teman, banyak sekali orang yang bangun untuk mulai bekerja pada saat matahari belum terbit, dan pulang kerumah dimana matahari sudah terbenam. Dengan bekerja seperti itupun mereka masih juga belum cukup untuk membahagiakan dirinya.

Pada saat mereka sudah berkeluarga, beban menjadi semakin berat, dan waktu untuk bertemu anak anak mereka hampir tidak ada sama sekali. Apa yang mereka berikan untuk anak anak mereka hanyalah sisa sisa waktu, tenaga, dan sisa sisa kebahagiaan. Bagaimana anak anak mereka bisa hidup berbahagia kalau hanya diberi sisa saja?