Senin, 22 November 2010

Rangda

Rangda adalah ratu dari para leak dalam cerita Bali. Makhluk yang menyeramkan ini diceritakan sering menculik dan memakan bayi/orok serta memimpin pasukan menyebarkan wabah penyakit kependuduk dan melawan Barong yang merupakan simbul kekuatan baik .
kata Rangda yang dikenal di Bali berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa yang berarti Janda. cerita rakyat yang di dalamnya terdapat  Rangda yaitu Calonarang. 

bersambung..

Minggu, 21 November 2010

Penjor

Penjor adalah suatu hiasan pada upacara yang juga mengandung arti sebagai sebuah umbul-umbul dan simbul-simbul suci.
Penjor juga merupakan persembahan terhadap Bethara di Gunung Agung yaitu Bhatara Giri Putri.

Penjor ada 2 jenis:
1. Penjor Upacara
2. Penjor hiasan

Penjor upacara yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya.
membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.

Sedangkan penjor hiasan biasanya dipergunakan saat adanya pesta, lomba desa, pesta seni dll. Penjor hiasan tidak berisi sanggah penjor, tidak adanya pala bungkah/pala gantung, porosan dll.

Pada saat hari raya Galungan pada umumnya membuat penjor. Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan.

Barong

Kata barong berarti tiruan binatang buas yang di dalamnya ada orang yang menggerakan atau untuk dipertunjukan. Kata Barong berasal dari bahasa Sanskerta yaitu b (h) arwang yang dalam bahasa Indonesia sejajar dengan Beruang. Kata Beruang sebagai binatang disamakan untuk wujud-wujud binatang lainnya seperti Babi, Macan, Gajah, Sapi atau binatang lainnya.

Selain itu kata Barong berasal dari urat kata ba-ru-ang, sehingga berasimilasi menjadi Barong. Demikian juga karena penarinya terdiri dari dua orang yaitu rua rong yang berarti dua ruang, kecuali Barong Blas-blasan atau Barong Landung, barung berarti bersama-sama atau dua karena menarikannya harus berdua bersama-sama, dan bareng juga bermakna bersama-sama. Barong adalah karakter dalam mitologi Bali. Ia adalah raja dari roh-roh serta melambangkan kebaikan.
Ia merupakan musuh Rangda dalam mitologi Bali. Banas Pati Raja adalah roh yang mendampingi seorang anak dalam hidupnya. Banas Pati Raja dipercayai sebagai roh yang menggerakkan Barong. Sebagai roh pelindung, Barong sering ditampilkan sebagai seekor singa, selain itu ada pula beberapa jenis barong yang ada di Bali diantaranya : Barong Bangkal, Barong Ket, Barong Gajah, Barong Kadingkling, Barong Asu, Barong Macan, Barong Landung, Barong Gagombrangan, Barong Lembu, Barong Kambing, dan Barong Sai.

Minggu, 14 November 2010

Keberadaan Tuhan Dan Manusia Dalam Hindu

Keberadan Tuhan adalah gaib dan tindakan mencari Tuhan inilah yang menjadi hakikat hidup manusia. Namun para penganutnya mempercayai bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Dalam ajaran agama Hindu hal tersebut termasuk dalam Panca Çradha yang berarti lima macam kepercayaan umat Hindu, yang mana percaya akan adanya Ida Sang Hyang Widhi merupakan bagian yang patut dipercaya pertama kali (Widhi Sradha)

Ada tiga hal yang menyebabkan kepercayaan umat Hindu terhadap adanya Tuhan, yaitu:


Atas dasar petuah dari para tokoh agama atau para Rsi. Petuah tersebut disampaikan melalui ajaran Agama yang terdapat dalam Kitab Suci Weda yang merupakan wahyu yang diturunkan oleh Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Berdasarkan penyimpulan dari sebuah penilaian yang sesuai dengan logika. Contohnya: ada barang, karena dibuat oleh pabrik. Ada alam semesta, siapakah yang membuat? Jawabannya adalah Tuhan.

Berdasarkan pengalaman oleh para Resi/orang yang telah suci. Karena diyakini, Tuhan menurunkan ajarannya hanya kepada orang yang telah suci lahir dan bathin.


Keberadaan Tuhan dalam agama Hindu diyakini hanya satu, karena itu dinamakan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Tuhan itu memiliki berbagai macam sebutan hal ini disebabkan karena keterbatasan manusia untuk memikirkan Tuhan, maka untuk mempermudah imajinasinya dalam membayangkan kebesaran Tuhan, umat Hindu yang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama. Hal ini telah tersurat dalam sloka: 

        “Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti”

Terjemahannya:   
Hanya satu (Ekam) Sang Hyang Widhi (Sat = hakekat) hanya orang bijaksana (Wiprah) menyebutkan (Wadanti) dengan banyak nama (Bahuda).

Banyak nama itu diberikan sesuai dengan manifestasinya. Contohnya yaitu perwujudan Tuhan sebagai Tri Murti yang mana Tuhan dipercaya memiliki tiga wujud kekuatan yang amat besar. 
Tiga wujud kekuatan yang dimaksud adalah:

   *Dewa Brahma 
     Tuhan sebagai Maha Pencipta,

   *Dewa Wisnu 
     Tuhan sebagai Maha Pemelihara 

   *Dewa Siwa
     Tuhan sebagai Maha Pemrelina/Pelebur.



Sehingga dapat dikatakan bahwa memberikan banyak sebutan untuk Ida Sang Hyang Widhi, bukanlah sesuatu yang dilarang bagi umat Hindu karena hal tersebut diperbolehkan.

Manusia merupakan makhluk yang berakal budhi. Pada hakekatnya manusia merupakan penjelmaan dari Anu, yang dalam bahasa Sansekerta berarti atom. Maksudnya adalah percikan kecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga manusia pun sering diistilahkan dengan sebutan atmaja, anuja atau janma, oleh karena hakekatnya adalah atma atau anu yang lahir atau menjelma dari atma/anu yang membadan.

Selain manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan pun memiliki percikan kecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun manusia memiliki beberapa keistimewaan daripada ciptaan Tuhan yang lain yaitu adanya Tri Pramana yang terdiri atas sabda, bayu dan idep

Diri manusia juga disebut sebagai bhuana alit karena asal mula manusia memiliki hakekat yang sama dengan asal mula alam semesta (bhuana agung) yaitu purusa dan prakrti. Unsur purusa dalam diri manusia adalah jiwatma, sedangkan unsur prakrti adalah badan kasar atau Sthula Sarira. Tubuh manusia terdiri dari tiga lapisan badan (Tri Sarira) yaitu :
*Antakarana Sarira (badan penyebab) atau atman 
yaitu tentang hidup lahir bathin bagi manusia dan makhluk lainnya.
*Suksma Sarira/Lingga Sarira (bahan halus) atau citta, 
yaitu alam pikiran atau akal perasaan yang terdiri dari budi, manas, ahamkara dan indra termasuk intuisi.
*Stula Sarira (badan kasar) 
yaitu badan wadag seperti: darah, daging, tulang, kulit, sumsum, dsb (yang berasal dari unsur panca tan matra dan panca maha bhuta)

Manusia hidup dalam lingkungan tertentu dan memperoleh bahan keperluannya untuk hidup dari lingkungannya, sehingga manusia pun sangat tergantung pada lingkungan. Oleh karena itu situasi dan kondisi lingkungan harus diperhatikan, dengan lingkungan yang tertata dengan rapi dan bersih akan menciptakan keindahan. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tentram dalam diri manusia.

Makna Siwaratri Dan Penafsiran Cerita Lubdaka

Siwa Ratri (Siwa Latri) diartikan sebagai  “malam siwa”, karena pada hari tersebut Tuhan yang bermanifestasi sebagai Sang Hyang Siwa beryoga.
Hari suci ini jatuh pada purwaning tilem sasih kepitu, yaitu untuk memohon pengampunan dosa ke hadapan Hyang Widhi Wasa. Hari raya Siwa Ratri juga disebut malam peleburan dosa.

Brata Siwarâtri terdiri dari:
  1. Utama, melaksanakan:
     * Monabrata (Berdiam diri dan tidak berbicara).
     * Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
     * Jagra (berjaga, tidak tidur).
  2. Madhya, melaksanakan:
      * Upawasa.
      * Jagra.
  3.Nista, hanya melaksanakan:
      * Jagra.

Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka yang dikarang oleh Mpu Tanakung seorang mpu besar di zamannya. 
Lubdaka dilukiskan sebagai pemburu yang tentu saja gemar membunuh binatang-binatang buruan di hutan. Pada suatu hari, ia tidak dapat binatang buruan, kemudian kemalaman dan dia naik pohon bila. Karena takut terjatuh yang akan menjadi santapan binatang buas, ia memetik daun bila dan dijatuhkannya ke dalam kolam. Maksudnya supaya dia tudak mengantuk dan tertidur. Ternyata yang dimaksudkan dengan kolam itu adalah kolam dan di situ ada stana Hyang Siwa. Lubdaka akhirnya mendapatkan anugerah, kelak ketika ia mati, otomatis ia akan masuk sorga. Dosa-dosanya sudah terlebur oleh bergadang semalam suntuk itu.

Jadi kisah Lubdaka bisa kita tafsirkan sebagai barikut:
Lubdaka seorang pemburu bisa kita tafsirkan sebagai Lubdaka yang tidak pernah puas dengan keadaan dirinya. Ia selalu memburu dan mencari-cari ilmu pengetahuan, memburu kebajikan, memburu sifat-sifat baik. Untuk itulah ia tidak tega-tega melakukan pembunuhan, yang dibunuh adalah nafsu angkara murka, sad ripu, dan segala yang bertentangan dengan ajaran kebajikan.

Ketika ia merasa telah membunuh semua "sifat-sifat hewan dalam dirinya" maka ia melakukan suatu perenungan. Ia tidak berbicara, atau berbicara dengan perkataan yang terjaga. Ia melakukan upawasa atau puasa. Ia melakukan samadi pada malam yang paling gelap dalam putaran waktu selama setahun, untuk semalaman.
Daun bila yang dipetik dan dijatuhkankannya, adalah butir-butir genitri untuk melakukan pemujaan dan pada butir genitri yang ke 108 itulah samadi Lubdaka mendapatkan hasil. Yaitu Ketenangan, kebahagiaan hidup tanpa lagi terikat pada materi. Ia sudah mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Dan pada saat ia meninggal dunia ia telah siap secara spiritual. Lubdaka pun mencapai ketenangan di alam sana, di mana kita tidak bisa melukiskannya tempat itu, dan untuk memudahkannya kita sebut saja sorga.
 
Dengan demikian maka merayakan Hari Siwaratri adalah melakukan perenungan pada malam Siwa, malam tergelap dalam putaran waktu setahun. Perenungan yang disertai dengan pengendalian diri, berbicara yang baik, tidak makan minum, dan melakukan semedi dan japa berulang-ulang. Kita tidak tahu, kapan kita akan meninggal dunia. Walau memang cepat tapi kita tak ada kekuatan untuk menundanya, kita telah pernah melakukan sebuah perenungan di malam Siwa (Siwaratri). Jika kita sebagai manusia diberi umur panjang, kita masih akan bisa melewati malam Siwa yang akan datang. Betapa bahagianya jika kita bisa melakukan perenungan itu setiap tahun.






Artikel terkait:
MANTRAM PANCA SEMBAH
Makna dan Rangkaian Hari Raya Galungan
Makna Siwaratri Dan Penafsiran Cerita Lubdaka
Makna Hari Raya Kuningan
Keberadaan Tuhan Dan Manusia Dalam Hindu


Jumat, 12 November 2010

Makna Hari Raya Kuningan

Kuningan adalah rangkaian dari upacara Galungan, yaitu 10 hari setelah Galungan, yang jatuhnya pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan.

Kata kuningan sendiri memiliki makna "kauningan" yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya.

Pada hari Raya Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda alam.
Sedangkan endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran.

Dalam Hari Raya ini diharapkan manusia mampu menyesuaikan diri dengan alam, dan taat dengan hukum alam dan diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu.

Pada hari itu juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia  menerima anugrah dari Hyang Widhi.

Intinya dalam perayaan ini dimaksudkan agar umat selalu ingat kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widi Wasa dan mensyukuri karuniaNya, Selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial, dan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya.

Selasa, 02 November 2010

Makna dan Rangkaian Hari Raya Galungan

Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda kata Galungan berarti berperang.
Kesimpulan dari Parisada Hindu Dharma yaitu bahwa Hari Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi.
Bukan berarti Gumi (Jagad) ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah menciptakan dunia dan segala isinya. 

Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.

Menurut lontar Purana Bali Dwipa disebutkan :
"Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya".
Yang artinya:
"Perayaan hari raya suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka, keadaan pulau Bali bagaikan lndra Loka".


Mulai tahun saka inilah hari raya Galungan terus dilaksanakan, kemudian tiba-tiba Galungan berhenti dirayakan entah dasar apa pertimbangannya, itu terjadi pada tahun 1103 saka saat Raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan sampai dengan pemerintahan Raja Sri Dhanadi tahun 1126 saka Galungan tidak dirayakan. Dan akhirnya Galungan baru dirayakan kembali pada saat Raja Sri Jaya Kasunu memerintah, merasa heran kenapa raja dan para pejabat yang memerintah sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui sebabnya beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik dari Dewi Durgha menjelaskan pada raja, leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak merayakan Galungan, oleh karena itu Dewi Durgha meminta kembali agar Galungan dirayakan kembali sesuai dengan tradisi yang berlaku dan memasang penjor dihari penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak redite pahing dunggulan (hari minggu sebelim Galungan) kita didatangi oleh  Bhuta kala, yakni Kala-tiganing Galungan (Sang Kala Tiga Wisesa). Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma  malawan adharma.

Mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. 

makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep

Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.

Dalam kitab Sundari-Gama  mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan, yaitu hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.
Menurut Pustaka Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. 

Serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan.
Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa (Wrhaspati Wage Wuku Sungsang) dan Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia.

Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite (minggu) Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada soma (Senin) Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan.

Pada Anggara (selasa) Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.

Setelah hari raya Galungan yaitu Wraspati (Kamis) Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

berikutnya adalah Saniscara (Sabtu) Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka
dan “matirta gocara”. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.



Sumber:
Parisada Hindu Dharma Indonesia
Babad Bali




Artikel terkait:
Makna Hari Raya Kuningan
Makna dan Rangkaian Hari Raya Galungan


Keberadaan Tuhan Dan Manusia Dalam Hindu