Kamis, 14 Oktober 2010

Pengertian & Makna Upacara Mepandes

Ida Pedanda Gd Manuaba wktu masih wulaka
Upacara mapandes disebut juga matatah, masangih yaitu memotong atau meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang dipahat 3 kali secara simbolik, diasah dan diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut.



Bila dikaji lebih jauh, upacara Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacara Sarira Samskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Upacara ini dikelompokan dalam upacara Manusa Yajna.

1. Adapaun makna yang dikandung dalam upaca mapandes ini adalah: Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgita.
2. Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajna, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
3. Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Atma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Pitraloka).

Berdasarkan pengertian dan makna upacara Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacara ini merupakan upacara Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya. Dalam lontar Puja Kalapati dinyatakan, " seseorang yang tidak melakukan upacara Mapandes, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci," demikian pula dalam Atma Prasangsa dinyatakan "roh mereka yang tidak melaksanakan upacara potong gigi mendapat hukuman dari dewa Yama (Yamadhipati) berupa tugas untuk menggit pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan kitab Kalatattwa; Bhatara Kala tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Siva, yakni Bhatara Gana, Ganesa atau Ganapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.



Upacara ini merupakan sebagai wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitisastra.

Adapun tujuan dari upacara Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil baliq menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam lontar Puja kalapati dan juga Atmaprasangsa, maka upacara Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:

1. Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhuta, Kala, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas.
2. Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Sraddha dan Bhakti kepada-Nya.
3. Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi.
4. Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajaa dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.

Kini timbul pertanyaan, kapankah saat yang tepat untuk melaksanakan upacara Mapandes? Bila kita memperhatikan berbagai sumber yang tertulis di dalam lontar, seperti lontar Dharma Kahuripan dan lain-lain, sebenarnya upacara ini dilakukan saat mulai pubertasnya seorang anak, dan bagi seorang gadis, saat setelah pertama kali mengalami menstruasi. Upacara ini dapat digabungkan dengan Rajasewala atau Rajasingha bagi seorang gadis atau seorang perjaka.



Bagi seseorang yang belum sempat mengikuti upacara Mapandes, dan maut telah menjemput, berbagai tanggapan muncul, yakni apakah perlu upacara bagi seseorang yang telah meninggal. Menurut Lontar Sastra Proktah mengatakan bahwa "Orang yang sudah meninggal tidak perlu di upacarakan potong gigi, (Tan wenang Ngeludin Wangke)". Terhadap keadaan ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu memberikan jalan ke luar, sebagai berikut:

1. Mapandes adalah upacara Manusa Yajna (Sarira Samsakara) yang patut dilaksanakan pada saat seseorang masih hidup (sangat baik ketika remaja, belum berumah tangga). Mapandes bagi orang yang telah meninggal sesungguhnya tidak perlu dilakukan.
2. Bila orang tua yang bersangkutan merasa masih punya hutang berupa kewajiban, dapat menempuhnya dengan upacara simbolis, dengan kikir (panggur) dari bunga teratai, dilengkapi dengan andel-andel serta padi, seakan-akan yang bersangutan bermimpi diupacarakan Mapandes.
3. Dengan demikian orang tua terbebas dari hutang kewajiban kepada anaknya, sehingga roh anaknya diharapkan dapat bersatu dengan roh leluhur yang telah disucikan.

Tatacara Pelaksanaan

1. Upacara di tempat (bale) Mapandes. Setelah selesai upacara di pamarajan, maka remaja yang mengikuti upacara Mapandes kembali ke gedong untuk selanjutnya menuju tempat upacara Mapandes dilaksanakan, adapun rangkaian dan makna upacara yang dikandung adalah sebagai berikut:

a) Menyembah dewa Surya untuk mempermaklumkan sekaligus memohon persaksian-Nya.

b) Menyembah Bhatara Smara dan Bhatarì Ratih, agar senantiasa dimbimbing ke jalan yang benar, sekaligus memohon benih yang terkandung dalam diri masing-masing (sukla-svanita), jangan sampai ternoda hingga kehidupan berumah tangga melalui perkawinan di kemudian hari.

c) Memohon Tirtha kepada Bhatara Smara dan Bhatarì Ratih, sebagai simbol telah mendapat restu dan perkenan-Nya.

d) Ngayab Banten Pangawak Bale Gading, untuk memohon kekuatan lahir dan batin, karena masa pubertas penuh dengan tantantangan hidup termasuk dorongan nafsu yang jahat.

e) Mepandes, yakni dilaksanakannya upacara panggur oleh sangging, guna menyucikan diri pribadi dari gangguan Sadripu.

f) Menginjak banten paningkeb, mengandung makna selesainya upacāra Mapendes, dengan Sadripu dan Catur Sanak telah memperoleh penyucian.



2. Menikmati Sirih-lekesan, simbolis kehidupan baru telah dimulai dengan bermacam kenikmatan hidup dan tantangan, dan Sang Hyang Śiva beserta Panca Dewata senantiasa akan melindunginya.



3. Kembali ke tempat Ngekeb, mengandung makna kembali melakukan tapa brata, menyucian diri, lahir dan batin.



4. Mejaya-jaya, yakni mengikuti upacara yang dipimpin oleh Pandita (Sulinggih) berupa pemercikkan Tìrtha, yang mengandung makna yang bersangkutan telah dan senantiasa akan memperoleh kemenangan dalam menghadapi godaan dan dorongan untuk berbuat jahat.



5. Mapinton. Upacara ini mengandung makna mempermaklumkan kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan upacara Mapandes dan senantiasa memohon bimbingan dan perlindungan-Nya.



Berdasarkan rangkaian upacara Mapandes yang dilaksanakan, maka makna yang dikandung dari rangkaian upacara tersebut adalah sebagai berikut:

1. Magumi Padangan. Upacara ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui permohonan waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan bersthana di dapur.
2. Ngekeb. Upacara ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu, yakni enam musuh pada diri pribadi manusia berupa loba, emosi, nafsu seks dan sebagainya.
3. Mabhyakala. Upacara ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhuta Kala, yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan). Upacara ini juga disebut Mabhyakawon yang artinya melenyap kotoran batin dan di India disebut Prayascitta, menyucikan diri pribadi.
4. Persaksian dan persembahyangan ke Pamarajan. Upacara ini mengandung makna untuk:

a) Memohon wara nugraha Hyang Guru dan leluhur (kawitan) bahwa pada hari itu keluarga yang bersangkutan menyelenggarakan upacara potong gigi.

b) Menyembah ibu-bapa, sebagai perwujudan dan kelanjutan tradisi Veda, seorang anak wajib bersujud kepada orang tuanya, karena orang tua juga merupakan perwujudan dewata (matri devobhava, pitridevobhava), juga sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Uma dan Siva, sebagai ibu-bapa yang tertinggi dan yang sejati.

c) Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat keraksasaan dinetralkan dan berkembangnya sifat-sifat kedewataan.

d) Memohon Tirtha, sebagai simbolis memohon kesejahtraan, kabahagiaan dan keabadiaan.

e) Ngrajah gigi, menulis gigi dengan aksara suci simbolis sesungguhnya Hyang Widhilah yang membimbing kehidupan ini melalui ajaran suci yang diturunkan-Nya, sehingga prilaku umat manusia menjadi suci, lahir dan batin.

f) Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang Widhi Siva) yang telah menganugrahkan kelancaran upacara ini seperti simbolik Sang Hyang Siva memotong taring putra-Nya, yakni Bhatara Kala.





Demikianlah sepintas makna yang terkandung dari rangkaian upacara Mapandes, yang tidak lain guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan Sraddha dan Bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.







Sumber Bacaan: Bhagavadgita, Semaradahana, Lontar Puja Kalapati, Lontar Dharma Kahuripan, Lontar Atma Prasangsa, Lontar Kala Tattwa, Lontar Sastra Proktah